Selasa, 22 Juli 2008


BIOGRAFI SANG PENULIS


Tepat pada hari jum'at kliwon tanggal 22 februari tahun 1985 telah dilahirkan seorang bayi mungil nan tampan, dengan membawa sejumlah harapan-harapan besar menjadi orang yang berguna/bermanfaat.
Al kisah, bayi mungil tersebut beranjak dewasa menjadi pemuda yang sangat tampan dan rupawan. melihat anaknya sudah semakin dewasa, sang Bapak mengarahkan anaknya untuk MONDOK (waktu itu di Sarang/Langitan) tetapi sang anak menolak dengan dalih mau melanjutkan KULIAH. Sang Bapak membujuk agar anaknya mondok saja. tetapi sang anak tetap saja MENOLAK.
Al hasil, suatu ketika sang anak menemukan secarik kertas koran (saat itu ada dibawah kursi). Sebelum kertas itu dibuang dia sempat membaca kata per kata, kalimat per kalimat. Dalam salah satu tulisan menyebut kalimat yang waktu itu dilontarkan oleh PR II Bpk. DR.Ir. Nugroho Widyasmadi,M.Eng " di UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG, terdapat juga PONDOK PESANTREN MAHASISWA" akhirnya hal itu menjadi inspirasi bagi sang anak untuk menggabungkan pendapatnya dengan pendapat Bapaknya.
Ketika disampaikan kepada bapaknya, bapaknya sempat menolak karena masalah biaya (Bapaknya hanya seorang tambal Ban Sepeda Onthel). Namun karena melihat semangat anaknya akhirnya beliau mengiyakan. Akhirnya sang anak dapat kuliah sambil menjadi santri di sebuah pondok Pesantren yang bernama "PONDOK PESANTREN LUHUR WAHID HASYIM SEMARANG".
Waktu terus berjalan, namun apa yang ditakutkan oleh bapak tersebut (Biaya) dapat diatasi. karena disamping sang anak sering dapat beasiswa dari kampus, sang anak juga dapat penghasilan dari aktifitas mengajar privat dan Muadzin Masjid Nurul Ulum UWH serta job-job lain seperti Qori'. Aktifitas lain yang digeluti antara lain: BEM FE, RACANA UNWAHAS, Pengurus PPLWH, PC IPNU Kota Semarang, FOSSEI, PMII dll.
Banyak prestasi yang diraih semenjak di Universitas Wahid Hasyim, seperti juara III LKTM dalam "The First Senior Rovers Scout Creativity" se jawa tengah. juga pernah menjadi kontingen UNWAHAS dalam lomba Musabaqoh Tilawatil Qur'an Mahasiswa Se Jawa Tengah (Di UNSIQ Wonosobo.
Saat ini pemuda tersebut telah menyelesaikan Studi SI Fakultas Ekonomi Progdi Manajemen Universitas Wahid Hasyim yang dirampungkannya selama 3.5 tahun dengan IPK terakhir 3,35. setelah lulus diterima di sebuah perusahaan mebel di daerah Pucakwangi Pati, kemudian di tarik di Universitas Wahid Hasyim untuk mengurusi Koperasi BMT Muamalat Wahid Hasyim Semarang. sebuah koperasi yang didirikan oleh Yayasan Wahid Hasyim Semarang untuk mengatasi masalah pendanaan dan permodalan baik dilingkungan UNWAHAS sendiri maupun yang lain.
Bayi mungil dan Pemuda tersebut tak lain adalah M. ALI MA'SUM (sang penulis)

Selasa, 10 Juni 2008

SEJARAH LAHIRNYA UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

Sebelumnya kami sengaja menulis posting tentang sejarah lahirnya Universitas Wahid Hasyim Semarang sebagai wujud bhakti terhadap universitas tercinta ini. Posting ini kami tujukan untuk seluruh sivitas akademika universitas wahid hasyim dan orang-orang yang ingin mengetahui kelahiran universitas milik Nahdlatul Ulama ini.
Di dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Bab IV pasal 6 ditetapkan bahwa dalam upaya mencapai tujuan Nahdlatul Ulama salah satu usahanya adalah dibidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Untuk terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran islam, sehingga mampu membina dan mengembangkan manusia muslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan Negara, perlu dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan tinggi. Keputusan ini ternyata sudah diamanatkan dalam setiap muktamar NU maupun konferensi-konferensi wilayah yang dituangkan dalam setiap program kerjanya.
Untuk merealisasikan amanat tersebut, pada tanggal 7 Mei 1999 di Semarang didirikanlah Yayasan Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama Jawa Tengah yang disahkan dengan Akte Notaris Tri Joko Subandrio, SH nomor 13 Tahun 1999 tertanggal 7 Mei 1999, dengan susunan pengurus sebagai berikut:

Ketua : Drs. KH. Syamsudin Anwar (Alm)
Wk. Ketua : Drs. H. Achmad
Wk. Ketua : Drs. H. Ali Mufiz, MPA
Wk. Ketua : Drs. HM. Chabib Thoha, MA
Wk. Ketua : Drs. HM. Hoesein Moenawar
Sekretaris : Drs. H. Mudzakkir Ali, MA
Wk. Sekretaris : H. Hanief Ismail, LC
Bendahara : Drs. HA. Fatah Dahlan
Wk. Bendahara : Drs. HA. Sjirozi Zuhdi
Anggota : Ir. Djoko Wahjudi
Anggota : H. Imam Syafi’i
Anggota : H. Soewanto
Anggota : H. Gautama Setiadi
Anggota : KH. Chanief Muslih, LC
Anggota : Drs. HM Aminuddin Sanwar
Anggota : Mahmutarom HR, SH, MH
Anggota : Tri Setioadi, SH, CN
Anggota : Drs. H. Satriyan Abd Rahman
Anggota : Drs. H. Amjad, Al Hafidh, BSc.
Yayasan tersebut melakukan persiapan untuk berdirinya sebuah perguruan tinggi dan langkah awal disepakati pendirian Politeknik Nahdlatul Ulama yang selanjutnya dikembangkan menjadi sebuah universitas NU.
Pada tanggal 11 Mei 1999, Ketua PWNU Jawa Tengah Drs. H. Ahmad menugaskan ketua LP Maarif NU Jawa Tengah Drs. HM. Chabib Thoha, MA dan Drs. Mudzakkir Ali, MA sebagai sekretaris Yayasan untuk berkonsultasi kepada Ketua Umum PBNU, KH. Abdurrahman Wahid di Jakarta tentang rencana pendirian Politeknik NU. Hasil konsultasi Ketua Umum PBNU justru memerintahkan untuk mendirikan Universitas dan membuat proposal untuk kepentingan tersebut.
Pada tanggal 12 Juli 1999 ketua YPTNU Drs. KH. Syamsuddin Anwar beserta sekretaris YPTNU dan Wakil Ketua Panitia Pendiri, berkonsultasi kepada Ketua Umum PBNU yang menggariskan hal-hal sebagai berikut :
1. untuk nama universitas, jangan memakai nama islam atau NU, tetapi jadikanlah islam dan NU sebagai ruhnya.
2. nama yang tepat bagi universitas tersebut, diperintahkan untuk berkonsultasi dengan para ulama dan tawasul kepada Almarhum KH Sholeh Darat.
3. perlu diatur ketegasan hubungan hirarki antara Universitas dan Yayasannya dengan NU baik PWNU maupun PBNU yang tertuang dalam akta notaries. Meskipun tetap mengindahkan kemandirian Yayasan dalam pengelolaan universitas
4. ketua Umum PBNU menyanggupi mencarikan dana untuk pengadaan lahan seluas 10-20 ha dan pembangunan Gedung Rektorat, satu gedung perkuliahan serta dana operasional awal sebagai persyaratan pendirian.
5. awal perkuliahan disetujui dibuka pada tahun akademik 2000/2001
6. untuk pengaturan teknis selanjutnya ditugaskan ketua PBNU, Fajrul Falakh, SH, MH, MSc, sebagai konsultan

setelah Pengurus Yayasan dan Panitia Pendiri berkonsultasi dengan Ketua Umum PBNU tersebut, maka diambil langkah-langkah sbb:
1. melalui beberapa kali wasilah dan musyawarah mengenai nama Universitas antara lain Universitas Nusantara, Universitas Duta Bangsa, Universitas Kebangsaan dan Universitas Wahid Hasyim. Akhirnya disepakati nama Universitas Wahid Hasyim, dengan pertimbangan beliau adalah salah seorang Pendiri Republik Indonesia, Tokoh Agama dari kalangan NU yang Nasionalis. Nama tersebut disetujui oleh PBNU pada konsultasi pada tanggal 6 Agustus 1999
2. mengenai hubungan hirarki Universitas / Yayasan dengan PWNU dan PBNU, dilakukan penyempurnaan terhadap Akta Notaris yang dituangkan dalam Akta No. 56 Tahun 1999 tanggal 9 Nopember 1999.
Sambil menyempurnakan organisasi yayasan, maka yayasan dan panitia pendiri Universitas Wahid Hasyim mengajukan permohonan pendirian Universitas ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Kopertis Wilayah VI, dengan surat nomor : YPTNU-09/VIII/1999 tanggal 7 Agustus 1999 tentang Mohon Persetujuan pembukaan Program Studi Baru. Adapun program studi yang diajukan meliputu 10 program, yaitu :
1. Program Studi Manajemen (S1)
2. Program Studi Akutansi (D3)
3. Program Studi Perpajakan (D3)
4. Program Studi Komunikasi (D3)
5. Program Studi Teknik Informatika (S1)
6. Program Studi Teknik Komputer (D3)
7. Program Studi Teknik Sipil (D3)
8. Program Studi Agrobisnis (D3)
9. Program Studi Produksi dan Teknologi Pakan Ternak (D3)
10. Program Studi Farmasi (S1)
Untuk memantapkan rencana pembukaan program studi tersebut, Pengurus Yayasan dan Panitia Pendiri yang terdiri KH. Drs. Syamsuddin Anwar, Drs. Mudzakkir Ali, MA dan Drs. H. Noor Achmad, MA berkonsultasi dengan Kopertis Wilayah VI yang menghasilkan persetujuan rencana fakultas dengan 10 program studi sebagai berikut :
Fakultas Ekonomi : a. Program Studi Manajemen (S1)
b. Program Studi Akuntansi (S1)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik :
a. Program Studi Ilmu Politik (S1)
b. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (S1)
Fakultas Teknik : a. Program Studi Teknik Mesi (S1)
b. Program StudiTeknik Mesin (S1)
c. Program Studi Teknik Elektronika (DIII)
Fakultas Pertanian :a. Program Studi Agrobisnis (S1)
b. Program Studi Produksi dan Teknologi Pakan Ternak (DIII)
Fakultas Farmasi : Program Studi Farmasi (S1)

Dengan surat yayasan nomor : YPTNU-24/U/IX/1999 tanggal 23 September 1999 tentang mohon persetujuan pendirian program studi baru, Alhamdulillah 10 program studi sebagaimana tersebut diatas mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, berdasarkan surat Dirjen Dikti nomor : 1888/D4.II/T/12/1999 tanggal 30 Nopember 1999 tentang pertimbangan untuk pendirian Universitas Wahid Hasyim di Semarang.
Setelah 10 program studi mendapatkan persetujuan DIKTI, dengan surat nomor : 4699/006.2/AKI/1999 tanggal 27 Desember 1999 tentang pendirian Universitas Wahid Hasyim di Semarang, maka kopertis wilayah VI meminta kelengkapan syarat pendirian Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Setelah syarat-syarat lengkap, kemudian kopertis meninjau beserta tim pakar setiap program studi. Berdasarkan presentasi, evaluasi dan verifikasi tim pakar Alhamdulillah pada tanggal 26 juli 2000, semua tim pakar menyetuji dan memberi ketetapan kelayakan laborat pada semua program studi.
Akhirnya pada tanggal 8 Agustus 2000, Mendiknas melalui Dirjen Dikti mengeluarkan ijin pendirian dengan nomor : 124/D/O/2000 tentng pendirian Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Setelah 10 program studi mendapat ijin, sebagai universitas yang salah satunya mengemban misi agama, maka Yayasan dan Panitia Pendiri mengajukan permohonan membuka Fakultas Agama dengan progdi Pendidikan Agama Islam dan Muamalat kepada Menteri Agama dengan Republik Indonesia melalui kopertais Wilayah X Jawa Tengah. Dengan telah diterimanya surat ijin dari Pemerintah Republik Indonesia (Dirjen Dikti dan Kopertais Wilayah X Jawa Tengah ) maka mulai tahun Akademik 2000-2001, Universitas Wahid Hasyim secara resmi melakukan kegiatan operasionalnya sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi baru.

Kamis, 29 Mei 2008

KH. Wahid Hasyim

Sewaktu terjadi perombakan kabinet dan nama Wahid Hasyim tidak tercantum lagi dalam daftar nama anggota kabinet baru, beberapa orang tampak kecewa. Padahal yang bersangkutan cuek saja. Ketika mereka bertemu dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, kekecewaan itu langsung ditumpahkan kepadanya.
"Kami merasa kecewa karena Gus Wahid tidak duduk lagi di kabinet," kata H. Azhari.

"Tak usah kecewa. Saya toh masih bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang. Tinggal pilih saja," jawab KH. Abdul Wahid Hasyim sekenanya sehingga mengundang tawa yang hadir.

"Tapi kami tetap menyesal karena pemimpin kita tidak dipakai oleh pemerintah...," ujar H. Ichwan. "Kalau tidak dipakai oleh negara, biarlah saya pakai sendiri...," sekali lagi KH. Abdul Wahid Hasyim menjawab dengan santai dan penuh humor. Suara tawa kembali meledak.

"Kenapa ya, menjadi menteri kok cuma sebentar?" tanya H. Azhari masih penasaran.

"Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke kuburan, pembaca talqin itu kan selalu mengingatkan kita, "Wa mal hayatud-dunya illa mata'ul ghurur"[1]. Memangnya orang menjadi menteri untuk selamanya?" jawab KH. Abdul Wahid Hasyim. Kali ini dengan nada sedikit serius, menggunakan i'tibar yang pas.

Pada tahun 1939 NU masuk menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam. Setelah masuknya NU ke dalam federasi ini, dilakukan reorganisasi dan saat itulah KH. Abdul Wahid Hasyim, wakil NU terpilih menjadi ketua MIAI.

Selaku pimpinan Masyumi, Wahid Hasyim merintis pembentukan Hizbullah sebagai sayap "militer" yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Rencana pembentukan Hizbullah semula hampir urung. Banyak pihak yang mencurigai kehadirannya dalam membantu Perang Asia Timur Raya. Tapi KH. Abdul Wahid Hasyim, atas nama pimpinan Masyumi waktu itu, terus gigih memperjuangkan pembentukan Hizbullah hingga akhirnya berhasil.
Ketika Jepang masuk, KH. Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Selain mengadakan gerakan politik di kalangan umat Islam, melalui Majelis ini Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 dia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir.

Perhatiannya kepada dunia pendidikan sangat besar. Sewaktu menjadi Menteri Agama pada tahun 1950 Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN itu.
Dalam sebuah kesempatan pidato di depan majelis pengajian NU di Banyumas, KH. Abdul Wahid menceritakan ihwal keluarnya KH. Hasyim Asy'ari dari tahanan Jepang. Menurut Abdul Wahid, banyak orang dengki dan tukang fitnah berusaha menyusahkan NU dan menyengsarakan Hadhratusysyaikh. Karena Allah menghendaki lain, maka sia-sialah usaha mereka. Malahan kini, sekeluarnya Hadhratusysyaikh dari tahanan, beliau diberi kompensasi oleh Pemerintah Jepang untuk menjabat Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Ini merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam.

Mendapat tawaran itu KH. Hasyim Asy'ari menerima dengan catatan, mengingat usia yang sudah uzur dan dia harus mengasuh pesantren sehingga tidak mungkin kalau harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, dia mengusulkan agar tugasnya sebagai Shumubucho diserahkan kepada Abdul Wahid Hasyim, puteranya.
Taktik ini sengaja dilakukan KH. Hasyim Asy'ari untuk menghindari jangan sampai Nippon tersinggung atau menjadi curiga terhadap KH. Hasyim Asy'ari. Memang serba sulit posisi waktu itu. Jika tawaran ini diterima, kemungkinan akan menimbulkan fitnah, disamping kenyataannya usianya sudah uzur. Jika ditolak, jelas akan mendatangkan kecurigaan di pihak Nippon.

Keputusan KH. Hasyim Asy'ari ternyata merupakan sebuah sikap yang sangat brilian dan memiliki implikasi jauh sekali. Dengan keputusan itu, keinginan Jepang terpenuhi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan politik. Selain itu, rupanya secara tidak langsung KH. Hasyim Asy'ari juga sedang melakukan kaderisasi kepemimpinan level nasional kepada Abdul Wahid Hasyim. Melalui proses inilah mulai terlihat kelas kepemimpinan Abdul Wahid Hasyim yang sesungguhnya.
Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, sebenarnya dengan keputusan seperti itu ayahnya ingin memberi contoh keteladanan kepada generasi muda bahwa pengertian bijaksana bukanlah menjatuhkan pilihan terhadap sesuatu yang benar dan yang salah, atau terhadap sesuatu yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah kemampuan seseorang menjatuhkan pilihan antara dua perkara yang sama-sama salah atau sama-sama buruk, tetapi kondisi mengharuskan untuk memilih salah satunya.

Dalam kesempatan itu dia menjelaskan panjang lebar kisah penahanan Hadhratusysyaikh dan politik kompensasi yang dijalankan Jepang. Insya Allah dalam waktu tidak lama lagi banyak kyai yang akan menduduki Kepala Jawatan Agama di daerah-daerah. "Mudah-mudahan Jawatan Agama itu tidak menjurus menjadi Jowo tan Agomo, Jawa tanpa agama," ujar KH. Wahid Hasyim berseloroh. (Redaksi)

Dari "KARISMA ULAMA, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Editor: Saifullah Ma'shum, Penerbit: Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN

Cerpen: Kang Kasanun

Oleh: A. Mustofa Bisri
Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari ayah atau kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si Pesulap Mandrake. Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat satu ilmu saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau karena ilmunya.
Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan ayah di pesantren, paling semangat bila bercerita tentang Kang Kasanun. Aku dan kawan-kawanku paling senang mendengarkannya; apalagi Kiai Mabrur bila bercerita tentang tokoh yang dikaguminya itu acapkali sambil memperagakannya. Misalnya ketika bercerita bagaimana Kang Kasanun dikeroyok para begal, Kiai Mabrur memperagakan dengan memperlihatkan jurus-jurus silat. "Kang Kasanun itu pendekar yang ilmu silatnya komplit," katanya terengah-engah. "Yang saya peragakan itu tadi jurus silat Cibadak. Jurus yang digunakan Kang Kasanun membekuk tujuh begal yang mencegatnya di perjalanan. Tujuh orang dan Kang Kasanun sendirian. Bayangkan! Kami sendiri, saya dan beberapa kawan yang berminat, setiap malam Jumat dia ajari jurus-jurus silat dari berbagai cabang. Tapi mana mungkin bisa seperti dia? Dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila sedang bersilat, bisa nempel dan merayap di dinding." Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun, tapi tidak dengan memperagakannya seperti Kiai Mabrur. "Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana?" kata ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawannya yang disebutnya jadug itu. "Di samping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan bacaan aneh --campuran bahasa Arab dan Jawa-- dia bisa membuat tidur seiisi mushalla. Pernah dia menjadi tontonan orang sepasar gara-gara dia dihina penjual lombok lalu lombok satu pikul dimakannya habis. Dia tidak apa-apa, tapi penjualnya kemudian yang murus. Kata kawan-kawan dia juga bisa memanggil burung yang sedang terbang di udara dan ikan di dalam sungai." "Kata Kiai Mabrur, Pak Kasanun juga bisa menghilang, betul Yah?" tanya saya. Ayah tersenyum dan pandangannya seperti menerawang ke masa lalunya. "Pernah beberapa kawan diajarinya ilmu halimunan entah apa. Pokoknya ilmu untuk menghilang. Mereka disuruh puasa tujuh hari mutih, artinya bukanya hanya dengan nasi tanpa lauk apa-apa. Lalu ada satu malam ngebleng, semuanya tidak boleh tidur sama sekali. Ayah juga ikut." Ayah berhenti sejenak, tersenyum-senyum sendiri, mungkin terbawa kenangan masa lalunya, baru kemudian melanjutkan ceritanya. "Dari sekian orang yang ikut program halimunan itu, hanya ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal, ketika ilmu itu dipraktikkan. Hari itu, kami beramai-ramai, di bawah pimpinan Kang Kasanun sendiri, datang ke toko Cina yang terkenal paling galak di kota. Kang Kasanun berpesan siapa pun di antara kami yang nanti di toko masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, jangan sekali-kali mengambil sesuatu. Karena tandanya kalau kami sudah benar-benar hilang, tidak terlihat orang, yaitu apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang Kasanun, kita bukan niat mencuri tapi mengamalkan ilmu. Jadi ambil barang seadanya dan yang murah-murah saja." Ayah berhenti lagi, tersenyum-senyum lagi, baru sejurus kemudian melanjutkan. "Wah, saya lihat waktu itu kawan-kawan ada yang mengambil sabun, ada yang mengambil potlot, sisir, minyak rambut, dan lain-lain. Mabrur, guru Quranmu itu, malah sengaja mengambil manisan yang terletak persis di depan Cina pemilik toko yang galak itu. Anehnya, baik si pemilik toko maupun pelayan-pelayannya, seperti tidak melihat apa-apa. Setelah mengambil barang-barang itu, kawan-kawan ngeloyor begitu saja dan tak ada yang menegur. Saya yang malah ditanya Kang Kasanun, kenapa saya tidak mengambil apa-apa? Saya menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang yang ada di toko. Jadi, sesuai pesan Kang Kasanun sendiri, saya tidak berani mengambil apa-apa. ’Sampeyan kurang mantap sih!’ komentar Kang Kasanun. Memang terus terang, waktu itu --sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu-- saya tidak percaya ada ilmu halimunan, ada orang bisa menghilang." "Ada tamu ya, Bu?!" tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membenahi kamar tamu. "Ya," jawab ibu tanpa menoleh, "Kawan lama ayahmu di pesantren. Beliau akan menginap beberapa malam. Mungkin mau kangen-kangenan sama ayahmu. Dengar itu, tawa mereka." "Ya, asyik benar tampaknya," timpalku. "Tamu dari mana sih, Bu?" "Kata ayahmu tinggalnya sekarang di luar Jawa. Namanya Kasanun atau siapa?!" "Kasanun?" tanya aku setengah berteriak. "Ee, jangan berteriak!" bisik ibu. Tapi aku sudah bergegas meninggalkannya. Dari gorden jendela aku mengintip ke ruang tamu. Sekejab aku jadi ragu-ragu. Tamu ayah tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak gagah, malah terlihat kecil sekali di depan ayahku yang bertubuh besar. Kurus lagi. Ah, jangan-jangan ini bukan Kasanun sang pendekar yang sering diceritakan Kiai Mabrur. Masak kerempeng begitu. Tapi setelah nguping, mendengar pembicaraan ayah dan tamunya itu sebentar, aku menjadi yakin memang itulah sang Superman, Kang Kasanun. Apalagi tak lama kemudian Kiai Mabrur datang dan saling berpelukan dengan si tamu. Nanti malam, aku harus menemuinya, kataku mantap dalam hati. Aku harus mendapatkan salah satu ilmu hikmahnya. Kebetulan sekali, malam ketika ayah akan mengajar ngaji, aku dipanggil dan katanya, "Kenalkan, ini kawan ayah di pesantren, Kang Kasanun yang sering ayah ceritakan! Kawani dulu beliau sementara ayah mengaji." Begitu ayah pergi, aku segera menjabat tangan orang yang selama ini aku idolakan. Beliau menerima tanganku dengan menunduk-nunduk penuh tawadluk. "Gus, putra ke berapa?" tanyanya dengan suara lembut. "Nomor dua, Kiai!" jawabku sambil terus mengawasinya. "Jangan panggil saya kiai!" katanya bersungguh-sungguh. "Saya bukan kiai. Saya memang pernah mondok di pesantren bersama ayahanda Gus, tapi tidak seperti ayahanda Gus yang tekun belajar. Saya di pesantren hanya main-main saja." Aku tidak begitu menghiraukan apa yang beliau katakan, aku sudah punya rencana sendiri dari tadi. Mengapa harus ditunda, inilah saatnya, mumpung hanya berdua. Kapan lagi? "Bapak Kasanun," kata saya sengaja mengganti sebutan kiai dengan bapak, "sebenarnya saya sudah lama mendengar tentang Bapak, baik dari ayah maupun yang lain. Sekarang mumpung bertemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberi ijazah kepada saya barang satu atau dua dari ilmu hikmah Bapak." Mendengar permohonan saya, tiba-tiba tamu yang sejak lama aku harapkan itu menangis. Benar-benar menangis sambil kedua tangannya menggapai-gapai. "Jangan, jangan, Gus! Gus jangan terperdaya oleh cerita-cerita orang tentang bapak. Apalagi kepingin yang macam-macam seperti yang pernah bapak lakukan. Biarlah yang menyesal bapak sendiri. Jadilah seperti ayahanda saja. Belajar. Ngaji yang giat. Dulu ayahanda Gus pernah sekali ikut dengan kegilaan masa muda bapak, tapi gagal. Mengapa? Bapak rasa karena ayahanda memang tidak serius. Beliau hanya serius dalam urusan belajar dan mengaji. Dan sekarang, lihatlah bapak dan lihatlah ayahanda Gus! Ayahanda Gus menjadi kiai besar, sementara bapak lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak yang dulu ikutan bapak mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini rata-rata kini hanya jadi dukun. Ini masih mendingan, ada yang malah menggunakan ilmu itu untuk menipu masyarakat dengan mengaku-aku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam yang tidak tahu, mana bisa membedakan antara karomah dan ilmu sulapan seperti itu?" Aku tidak bisa ceritakan perasaanku melihat orang yang selama ini kukagumi menangis. Masih terdengar sesekali isaknya ketika beliau melanjutkan. "Ayahanda dan Kiai Mabrur pasti tak pernah cerita bahwa bapak ini pernah dinasihati seorang singkek tua. Karena memang bapak tak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Sekarang ini bapak ingin menceritakannya kepada Gus. Mau mendengarkan?" Saya hanya bisa mengangguk. "Pernah dalam suatu perjalanan bapak, bapak kehabisan sangu. Bapak pun mampir ke sebuah toko milik seorang singkek yang sudah tua sekali. Begitu masuk toko, bapak rapalkan aji halimunan bapak. Semua pelayan dan pelanggan yang ada tak ada yang bisa melihat bapak. Bapak langsung menuju ke meja si singkek tua yang terlihat terkantuk-kantuk di kursi tingginya. Pelan-pelan aku buka laci mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak ambil semau bapak. Si singkek tua tidak bergerak. Namun begitu tangan bapak akan bapak tarik dari laci, tiba-tiba tangan keriput si singkek tua memegangnya dan langsung seluruh tubuh bapak lemas tak berdaya. ’Ilmu begini, kok kamu pamel-pamelkan,’ katanya hampir tanpa membuka mulut. "Ini nyang kamu peloleh sekian lamanya belajal, he?! Kasihan kamu olang! Ilmu mainan anak-anak begini untuk apa? Paling-paling buat gagah-gahahan ha. Siapa yang nganggep kamu gagah? Anak-anak kecil sama olang-olang bodoh dan olang-olang jahat saja ha! Ada olang pintel kagum sama kamu olang? Ada? Siapa? Olang hidup apa nyang dicali? Olang hidup cali baik buat dili sendili, kalau bisa buat olang lain. Cali senang sendili, jangan bikin susah olang lain ha!’ Pendek kata, habis bapak dinasehati. Setelah itu bapak dikasih uang dan disuruh pergi. Sejak itulah bapak tidak pernah lagi mengamalkan ilmu-ilmu gila bapak. Nasihat yang bapak dapat dari singkek tua itu sebenarnya hanyalah memantapkan apa yang lama bapak renungkan tentang kehidupan bapak, tapi bapak selalu ragu." Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang. Katanya kemudian, "Kini bapak sudah mantap. Jalan yang bapak tempuh kemarin salah. Mestinya sejak awal bapak mengikuti jejak ayahanda Gus. Karena itu, Gus, sekali lagi, ikutilah jejak ayahanda dan jangan mengikuti jejak bapak ini. Carilah ilmu yang bermanfaat bagi diri Gus dan bagi sesama!" Aku tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu datang Kiai Mabrur dan beberapa tamu kawan lamanya yang lain. Tapi aku masih mempunyai banyak waktu untuk merenungkan nasihatnya. (*) Rembang, 29 September 2002

cerpen : GUS JAKFAR

Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." "Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." "Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." "Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi." "Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." *** Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?" "Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." "Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau." Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau." "O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. "Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." "Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk." 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' "Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu." "Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah." Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!" "Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka." "Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang." "Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan". "Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk." "Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah." 'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya." "Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak' Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini." "Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. Rembang, Mei 2002

KH. Abbas Djamil Buntet (1879 – 1946) (Tulisan Kedua - Habis)

Memimpin Pesantren Buntet
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanaya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet Waruisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.
Sebagai seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fikih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fikih memang merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpemikiran progresif.Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.
Walaupun namanya sudah terkenal diseantero pulau jawa, baik karena kesaktiannya maupun karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Dhuhur atau Ashar, sebuah langgar yang berada di pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Melawan Penjajah Belanda Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti lazimnya para kiai. Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, makaa pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan.
Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas. Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah memasuki masa senjanya, lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucu-cucunya. Karena itu Kiai Abbas mulai merintas perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian padsa masyarakat.
Tentu saja yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Maka begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka, karena itu Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar pribadinya. Dalam mkamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi berbagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.
Dengan gerakan itu maka pusantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet saat itu menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjaajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH. Mujahid.
Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terletak didaeah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan Cipancur, Kuningan. Daerah tesebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke Yogyakarta. Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.
Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu – sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali rtepublik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu.Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH. Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh Zamzam, Benda Kerep, KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren tebuireng, kapok tidak berani mengganggu lagi. Tradisi pessantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam totalitasnya
Berjuang Hingga Akhir Hayat Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapanagan maupun di meja perundingan. Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus digelar, terutama bagi kalangan muda yang baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah juga dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya penjajahan. Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu bepata kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu. Mendengar hail perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren. Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Akibatnya pada masa ramainya gerakan reformasi pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalanagan NU maupun komunitas lainnya. Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan. (NU online/Abdul Munim DZ)

KH. Abbas Djamil Buntet (1879 – 1946) (Tulisan - Pertama)

Memadukan Kitab Kuning dan Ilmu Kanuragan
Buntet hingga saat ini dikenal sebagai pesantren yang sangat prestisius hingga sekarang, tidak hanya dari segi mutu pendidikan yang disajikan, sebagai pesantren salaf yang mengajarkan berbagai kitab kuning bertaraf babon, tetapi pesantren ini juga memiliki peran-peran sosial politik yang diambil oleh para pemimpinnya. Kualitas pengajian dan kharisma seorang kiai merupakan daya tarik utama dalam system pendidikan pesamtren Salaf. Dan ini tetap dipertahankan dalam system pendidikan pesantren Buntet sebabagi sosok pesantren salaf yang tidak pernah kehilangan pesona dan peran dalam dunia modern.
Tersebutlah saat ini peran sosial politik yang diambil kiai Abdullah Abbas, selalu menjadi rujukan para pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya banyak, tetapi memang nasehat dan pandangannya sangat berisi. Semuanya itu tidak diperoleh begitu saja, melainkan hasil pergumulan panjang, yang penuh pengalaman dan pelajaran, sehingga membuat para tokoh matang dalam kancah perjuangan. Bukan sekadar tokoh yang berperan karena mengandalkan popularitas keluarga atau keturunannya. Semuanya itu tidak terlepas dari peran para pendahulu pesantren Buntet ayah Kiai Abdullah Abbas sendiri yaitu Kiai Abbas, seorang ulama besar yang mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sekaligus, sebagai sarana perjuangan membela umat.
Latar Belakang Keluarga Kiai Abas adalah putra sulung KH. Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Jamil adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon. Ia menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak sultan Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777. Tetapi Jabatan terhormat itu kemudian ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggungjawab terhadap agama dan bangsa. Selain itu juga karena sikap dasar politik Mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah Belanda – karena penjajah secara politik saat itu sudah “menguasai” kesultanan Cirebon.
Setelah meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pesantren tahun 1750 di Dusun Kedung malang, desa Buntet, Cirebon yang petilasannya dapat dilihat sampai sekarang berupa pemakaman para santrinya. Untuk menmghindari desakan penjajah Belanda, ia selalu berpindah-pindah. Sebelum berada di Blok Buntet, (desa Martapada Kulon) seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah yang disebut Gajah Ngambung. Disebut begitu, konon, karena Mbah Muqayyim dikhabarkan mempunyai gajah putih.
Setelah itu juga masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon), lantas ke daerah yang diebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, lantara begitu gencarnya desakan penjajah Belanda (karena sikap politik yang non-cooperative), Mbah Muqayyim sampai “hijrah” ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah, sebelum kembali ke daerah Buntet, Cirebon. Hal itu dilakukan karena hampir setiap hari tentara penjajah Belanda setiap hari melakukan patroli ke daerah pesantren. Sehingga suasana pesantren, mencekam, tapi para santri tetap giat belajar sambil terus begerilya, bila malam hari tiba.
Semuanya itu dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Qoyyim selalu mendampingi mereka. Sementara bimbingan Mbah Qoyyim selalu meraka harapkan sebab kiai itu dikenal sebagai tokoh yang ahli tirakat (riyadlah) untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Ia pernah berpuasa tanpa putus selama 12 tahun. Mbah Muqayyim membagi niat puasanya yang dua belas tahun itu dalam empat bagian. Tiga tahun pertama, ditunjukan untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucuknya. Tiga tahun yang ketiga untuk para santri dan pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk keselamatan dirinya. Saat itu Mbah Muqayyimlah peletak awal Pesantren Buntet, sudah berpikir besar untuk keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu pesantren rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut. Sejak zaman pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, pesantren ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.
Masa Pembentukan Dengan demikian pada dasarnya Kiai Abbas adalah dari keluarga alim karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri. KH. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama baru pindah ke pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon dibawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu, masih didaerah Jawa Barat, ia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari dibawah pimpinan Kiai Hasan. Baru setelah itu keluar daerah yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah,tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.
Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, maka selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti KH. Abdul Wahab Chasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH. Abdul Manaf turut mendirikan pesantren Lirboyo, kediri Jawa Timur.
Walaupun keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap berniat memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu di sana masih ada ulama Jawa terkenal tempat berguru, yaitu KH. Machfudz Termas (asal Pacitan, Jatim) yang karya-karya (kitab kuning) –nya termasyhur itu. Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukminin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH. Cholil Balerante, Palimanan, KH. Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya. (bersambung)

Rabu, 28 Mei 2008

Cinta Tuhan, Cinta Sesama


Oleh: Muhammad Soffa Ihsan

Mencintai Tuhan dengan mencintai manusia, mari menyitir kisah seorang sufi, Abu Ben Adhim. Suatu malam, Abu Ben Adhim terbangun dari mimpinya yang indah.
Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuatnya berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, "Apa yang sedang kamu tulis?" Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, "Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan." "Adakah namaku di situ?" kata Abu. "Tidak. Tidak ada," jawab malaikat. Abu berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, "Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia." Malaikat menulis dan menghilang. Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abu Ben Adhim diatas semua nama. Abu Ben Adhim mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan. Baik Abu Ben Adhim maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba-Nya. Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, "Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan kepada-Ku." Ia berkata kepada yang lainnya, "Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum." Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, "Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku." Ketika hamba-hamba-Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, "Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya." (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah). Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf, bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya. Abu Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, "Sejak dahulu katak dapat melakukannya!" Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, "Lalat dapat melakukannya lebih baik." Muridnya bertanya, "Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?" Ia menjawab, "Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya." Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, kaum sufi banyak menyerap dari berbagai hikmah yang bisa diteladani demi meningkatkan kemuliaan diri (tahdzib al-akhlaq). Prinsip sufistik selaras sabda Nabi Muhammad:”ambilah hikmah dari mana datangnya.” Kaum sufi juga belajar jalan cinta dari kisah Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, "Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami." Dengan marah Musa menjawab, "Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?" Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, "Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang." Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh. "Saya lapar sekali," katanya kepada Musa. "Berilah aku makanan." Musa berkata, "Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan." Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka. Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, "Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan." Tuhan menjawab, "Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan." "Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa," kata Musa. "Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku." Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik. Dalam Al-Quran juga ada perintah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yangmenghinakan."(QS.Al-Nisa’,36-37) Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari "shadaqa", yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang. "Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari jalanan," sabda Nabi Muhammad SAW. Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi. Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul, Turki. Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering. Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, "Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga karena seekor semut.."

Senin, 26 Mei 2008

SUNAN KALIJAGA

SUNAN KALIJAGA
HUTAN Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya. Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan. Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu --yang tiada lain daripada Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga. Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ''Kalijaga'' sendiri punya banyak tafsir. Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun. Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram. Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain. Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan --paduan melodi Arab dan Jawa. Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru. Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten. Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti. Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan. Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya. Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di ''bumi Sriwijaya'' itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah. Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ''ojo gumunan lan kagetan'' (jangan mudah heran dan terkejut). Ia ''menyulap'' emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ''menganugerahkan'' adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon. Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak. Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya. Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ''Islam abangan''. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak. Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ''Lawang Trus Gunaning Janma'' --bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah kesembilan wali berada di tempat ini dalam satu waktu. Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.