Kamis, 29 Mei 2008

KH. Wahid Hasyim

Sewaktu terjadi perombakan kabinet dan nama Wahid Hasyim tidak tercantum lagi dalam daftar nama anggota kabinet baru, beberapa orang tampak kecewa. Padahal yang bersangkutan cuek saja. Ketika mereka bertemu dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, kekecewaan itu langsung ditumpahkan kepadanya.
"Kami merasa kecewa karena Gus Wahid tidak duduk lagi di kabinet," kata H. Azhari.

"Tak usah kecewa. Saya toh masih bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang. Tinggal pilih saja," jawab KH. Abdul Wahid Hasyim sekenanya sehingga mengundang tawa yang hadir.

"Tapi kami tetap menyesal karena pemimpin kita tidak dipakai oleh pemerintah...," ujar H. Ichwan. "Kalau tidak dipakai oleh negara, biarlah saya pakai sendiri...," sekali lagi KH. Abdul Wahid Hasyim menjawab dengan santai dan penuh humor. Suara tawa kembali meledak.

"Kenapa ya, menjadi menteri kok cuma sebentar?" tanya H. Azhari masih penasaran.

"Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke kuburan, pembaca talqin itu kan selalu mengingatkan kita, "Wa mal hayatud-dunya illa mata'ul ghurur"[1]. Memangnya orang menjadi menteri untuk selamanya?" jawab KH. Abdul Wahid Hasyim. Kali ini dengan nada sedikit serius, menggunakan i'tibar yang pas.

Pada tahun 1939 NU masuk menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam. Setelah masuknya NU ke dalam federasi ini, dilakukan reorganisasi dan saat itulah KH. Abdul Wahid Hasyim, wakil NU terpilih menjadi ketua MIAI.

Selaku pimpinan Masyumi, Wahid Hasyim merintis pembentukan Hizbullah sebagai sayap "militer" yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Rencana pembentukan Hizbullah semula hampir urung. Banyak pihak yang mencurigai kehadirannya dalam membantu Perang Asia Timur Raya. Tapi KH. Abdul Wahid Hasyim, atas nama pimpinan Masyumi waktu itu, terus gigih memperjuangkan pembentukan Hizbullah hingga akhirnya berhasil.
Ketika Jepang masuk, KH. Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Selain mengadakan gerakan politik di kalangan umat Islam, melalui Majelis ini Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 dia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir.

Perhatiannya kepada dunia pendidikan sangat besar. Sewaktu menjadi Menteri Agama pada tahun 1950 Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN itu.
Dalam sebuah kesempatan pidato di depan majelis pengajian NU di Banyumas, KH. Abdul Wahid menceritakan ihwal keluarnya KH. Hasyim Asy'ari dari tahanan Jepang. Menurut Abdul Wahid, banyak orang dengki dan tukang fitnah berusaha menyusahkan NU dan menyengsarakan Hadhratusysyaikh. Karena Allah menghendaki lain, maka sia-sialah usaha mereka. Malahan kini, sekeluarnya Hadhratusysyaikh dari tahanan, beliau diberi kompensasi oleh Pemerintah Jepang untuk menjabat Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Ini merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam.

Mendapat tawaran itu KH. Hasyim Asy'ari menerima dengan catatan, mengingat usia yang sudah uzur dan dia harus mengasuh pesantren sehingga tidak mungkin kalau harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, dia mengusulkan agar tugasnya sebagai Shumubucho diserahkan kepada Abdul Wahid Hasyim, puteranya.
Taktik ini sengaja dilakukan KH. Hasyim Asy'ari untuk menghindari jangan sampai Nippon tersinggung atau menjadi curiga terhadap KH. Hasyim Asy'ari. Memang serba sulit posisi waktu itu. Jika tawaran ini diterima, kemungkinan akan menimbulkan fitnah, disamping kenyataannya usianya sudah uzur. Jika ditolak, jelas akan mendatangkan kecurigaan di pihak Nippon.

Keputusan KH. Hasyim Asy'ari ternyata merupakan sebuah sikap yang sangat brilian dan memiliki implikasi jauh sekali. Dengan keputusan itu, keinginan Jepang terpenuhi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan politik. Selain itu, rupanya secara tidak langsung KH. Hasyim Asy'ari juga sedang melakukan kaderisasi kepemimpinan level nasional kepada Abdul Wahid Hasyim. Melalui proses inilah mulai terlihat kelas kepemimpinan Abdul Wahid Hasyim yang sesungguhnya.
Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, sebenarnya dengan keputusan seperti itu ayahnya ingin memberi contoh keteladanan kepada generasi muda bahwa pengertian bijaksana bukanlah menjatuhkan pilihan terhadap sesuatu yang benar dan yang salah, atau terhadap sesuatu yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah kemampuan seseorang menjatuhkan pilihan antara dua perkara yang sama-sama salah atau sama-sama buruk, tetapi kondisi mengharuskan untuk memilih salah satunya.

Dalam kesempatan itu dia menjelaskan panjang lebar kisah penahanan Hadhratusysyaikh dan politik kompensasi yang dijalankan Jepang. Insya Allah dalam waktu tidak lama lagi banyak kyai yang akan menduduki Kepala Jawatan Agama di daerah-daerah. "Mudah-mudahan Jawatan Agama itu tidak menjurus menjadi Jowo tan Agomo, Jawa tanpa agama," ujar KH. Wahid Hasyim berseloroh. (Redaksi)

Dari "KARISMA ULAMA, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Editor: Saifullah Ma'shum, Penerbit: Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN

Tidak ada komentar: