Jumat, 25 Desember 2009

Profil KH. M. Ma’shum bin Aly

Banyak orang yang tak mengenal ulama alim satu ini. Sikap sederhana yang dimilikinya, membuat banyak orang tidak mengenalnya. Namun jangan dikira beliau adalah pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Sebuah kitab sharaf yang amat masyhur di Nusantara bahkan negara luar sekali pun.

Nama lengkapnya, Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan sang kakek.

Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali–kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.

Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang extag/hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratu Syekh sendiri.

1. Mendirikan Pondok di Seblak

Seblak adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.

Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.

Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.

2. Karya Pena Kiai Ma’shum

Jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syekh yang mencapai belasan kitab. Tetapi hamper seluruh kitab Kiai Ma’shum terbilang sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal karangannya dibanding si pengarangnya itu sendiri. Terhitung ada empat kitab karya beliau;

  1. Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau negara luar, kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap eksis dikaji. Karena saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”. Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi tinggi. Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba). Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
  2. Fath Al-Qadir. Konon, kitab ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, ketika beliau masih hidup, oleh penerbit Salaim Nabhan Surabaya. Halamannya tipis tapi lengkap. Kini kitab tersebut banyak dijumpai di pasaran.
  3. Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan “mudah”. Hal ini tak lain karena kehebatan Kiai Ma’shum dalam menyusun dan menguraikan bab dengan gamblang. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak masehi dan hijriyah, keberadaan matahari dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilidan dengan jumlah 109 halaman.
  4. Badi’ah Al-Mitsal. Kitab ini juga menerangkan ilmu falak. Kali ini beliau menerangkan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari, sebagaimana teori Barat, kabut pilin, pijar. Menurut beliau, yang menjadi pusat peredaran alam semesta ialah bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi bumi.

3. Kepribadian yang Sederhana

Sebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum bukan berarti harus meninggalkan pergaulnya bersama masyarakat awam. Beliau dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Bahkan saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.

Menurut pandangan beliau, semua orang lebih pintar darinya. Buktinya, beliau pernah berguru kepada nelayan. Kejadian ini terjadi taatkala beliau pergi haji. Selama perjalanan, Kiai Ma’shum menggunakan waktu yang cukup lama itu dengan berguru kepada nelayan di perahu. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Tak disangka, dari hasil pengamatan beliau itulah, lalu lahir kitab berjudul Badi’ah Al-Mitsal.

Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sombong dihadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang beliau miliki. Hal ini tak lain karena beliau takut kalau dirinya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati.

Kesederhanaannya tidak hanya terlihat ketika beliau masih hidup. Setelah wafat pun, kesederhanaannya dapat kita lihat. Makam beliau tampak biasa-biasa saja (baca: sangat sederhana). Jangankan untuk hiasan yang menandakan sebagai makamnya seorang Kiai, batu nisannya saja hanya tersisa satu. Sampai banyak orang yang tidak tahu kalau sebenarnya itu adalah makam Kiai Ma’shum. Justru dari kesederhanan itulah, nama beliau dikenang dunia sebagi ulama alim dengan karyanya yang paling monumental dan fenomenal sepanjang zaman.

4. Hubungan yang Harmonis

Kehidupan sehari-hari beliau mencerminkan orang yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, atau santri. Khusus kepada Hadratus Syekh, Kiai Ma’shum sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Ketika sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagi hadiah untuk beliau. Bahkan kitab As-Syifa yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syekh ketika mengarang kitab.

Almh. Ny. Khoiriyah Hasyim, menceritakan; suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syekh tentang dua persoalan, foto dan penentuan awal ramadhan (lihat; Heru Sukardi: 1979). Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syekh menyatakan haram.

Begitu pula mengenai permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab. Sedangkan Hadratus Syekh memilih dengan teori ru’yat. Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.

Walaupun kedua ulama’ terkemuka ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab, layak tak ada konflik yang mengingat. Ada seorang santri yang mengatakan kalau Kiai Ma’sum tidak punya adab, ia berani berbeda pandang dengan guru yang sekaligus mertuanya sendiri. Mengetahui hal itu Hadratus Syekh menegurnya “Setiap orang memiliki pendirian sendiri-sendiri, harap dalam hal yang seperti ini saudara jangan ikut campur tangan.”

Pulang Keharibaan Ilahi Rabbi

Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat sebab penyakit paru-paru yang dideritanya. Usianya + 46 tahu. Kewafatan beliau membawa musibah besar, terutama bagi santri Tebuireng. Karena beliaulah satu-satunya Kiai yang menjadi rujukan utama dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syekh .

Sungguh besar jasa beliau dalam bidang keilmuan. Kita dapat merasakannya dari peninggalan karya beliau yang hingga kini belum ada seorang ulama pun yang mampu menyainginya.

Semoga segala perjuangan beliau diterima oleh Allah SWT dan apa yang beliau tinggalkan semoga bermanfaat tiada henti, hingga menjadikannya amal jariyah nan abadi. Allahummagfir lah wa nafa’ana bih wa biulumih Amin.

Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari



Muqadimah

Telah dimaklumi, bahwa usia yang panjang bagi seorang hamba adalah merupakan rahmat tersendiri dari Allah SWT. Apalagi umur yang panjang dalam kehidupan di dunia ini, dihiasi serta dipenuhi dengan amal kebaikan, baik vertikal maupun horizontal, KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan salah satunya. Sejarah panjangnya, dalam pengabdian serta perjuangan untuk agama, bangsa dan negara, telah terukir dalam tinta mas.

Pengabdian serta perjuangan telah terbukti dengan kepribadiannya selama masa revolusi fisik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara republik Indonesia ini, dan selanjutnya mengisi kemerdekaan tersebut melalaui bidang pendidikan dan pengajaran. Bukan cuma itu, buah pemikiran beliau yang dituangkan ke dalam sejumlah kitab, masih banyak yang belum diketahui.

Melukiskan orang besar sekaliber KH. M. Hasyim Asy’ari, serta pemikirannya bukanlah suatu yang mudah, karena ada kehawatiran akan mereduksi gambaran sang tokoh dan karya-karyanya. Namun masih tersisa harapan, semoga hal tersebut dapat merangsang pembaca untuk menggali lebih dekat, baik seputar kelahiran, keluarga, perjalanan studi, gagasan-gagasan besar dan peninggalan yang harus dirawat, serta pemikiran beliau yang dituangkan dalam karya kitab-kitabyan yang berbahasa arab (kitab kuning).

Kelahiran Dan Masa Kecil

Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:

  1. Halimah (Winih)
  2. Muhammad
  3. Leler
  4. Fadli
  5. Arifah

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:

  1. Nafi’ah
  2. Ahmad Saleh
  3. Muhammad Hasyim
  4. Radiyah
  5. Hasan
  6. Anis
  7. Fatonah
  8. Maimunah
  9. Maksun
  10. Nahrowi, dan
  11. Adnan.

Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahira KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Di masa kecil belaiu hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jomabng dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.

Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan belaiu yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..

Rihlah Ilmiyah

a. Belajar Pada Keluarga

Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.

b. Mengembara ke Berbagai Pesantren

Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondik pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertannya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwau dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

c. Kematangan Ilmu di Tanah Suci

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenagan indah dan sedih teringat kembali tat kala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan),

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Peran-Peran Besar KH. M. Hasyim Asy’ari

a. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.

Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada se-eokor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

b. Mendirikan Nahdlatul Ulama

Disamping aktif mengajar belaiu juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlhn Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah…

Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

c. Pejuang Kemerdekaan

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.

Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:

1. Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan

2. Harta benda yang berlimpah-limpah

3. Gadis-gadis tercantik

Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW

Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau mefatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.

Begitu pula masa penjajah Jepang , pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan disurabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namuni tetap mengajar dipesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Keluarga Dan Sisilah

Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:

  1. Hannah
  2. Khoiriyah
  3. Aisyah
  4. Azzah
  5. Abdul Wahid
  6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
  7. Abdul Karim
  8. Ubaidillah
  9. Mashurroh
  10. Muhammad Yusuf.

Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:

  1. Abdul Qodir
  2. Fatimah
  3. Chotijah
  4. Muhammad Ya’kub

Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )

Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI

Wafatnya Sang Tokoh

Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kia menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuik meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).

Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Karya Kitab klasik

Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuat umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari skap dan prilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa arab.

Tetapi sangat diakungkan, karena kuarang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:

  1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin.

Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya

2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat.

Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar

3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan

4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh.

Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.

  1. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal

Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia

  1. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim.

Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya

  1. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah.

Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan

8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan.

BIOGRAFI IMAM GHOZALI

Dia adalah imam Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al Ghozali yang dijuluki Hujjatul Islam. dia ulama terkenal dari Thus yang bermadzhab syafi i , Imam besar ini memimiki peran yang saogat besar dalam memajukan peradaban islam. keharuman namanya mampu mencerahkan hati manusia dan nenghidupkan jiwanya. Beliau lahir di Thus pada tahun 450. dan ayahnya seorang pemintal wol kemudian menjualnya dikedainya .
Dasar ilmunya yang pertama di peroleh dari Thus kemudian mengembara ke Naisapur dan belajar berbagai macam ilmu kepada Imam Haramain. Abu al Ma'ali al Juwaini. Dia tekun dan ulet sehingga dalam waktu singkat sudah menguasai banyak ilmu .Bahkan dizaman gurunya masih hidup beliau sudah menjadi rujukan para ulama disamping itu beliau juga telah menyusun suatu karangan.

Dalam perkembangan berikutnya imam Ghozali sempat bertemu perdana Mentri Nizamul muluk dan mendapat penghormatan yang luar biasa darinya. fakta inilah yang mendorong perdana Mentri menyerahkan pengelolaan perguruan tinggi Nizamiahnya,Irak kepada Al Ghozali. peristiwa sejarah yang terjadi pada tahun 480 H ini otomatis semakin mengundang simpati dan rasa kagum penduduk irak sehingga kedudukan Ghozali dimata mereka semakin tinggi.
Kemudian pada thn 488 H Ghozali meninggalkan semua kedudukan dan apa yang diperolehnya selama menjadi kiblat para ulama. Beliau pergi meninggalkan keramaian dan menjalani cara hidup syuhud.
pertama beliau berangkat haji kemudian menuju zam dan menetap beberapa tahun dikota Damaskus. Dikota ini beliau menginap di salah satu sudud kamar dimasjid jami' untuk melakukan kontemplasi merenungkan kembali berbgai macam ilmu yang selama ini dipelajarinya. setelah berjangsung cukup lama beliau pindbg ke Baitul Maqdis dan ditempat baru ini waktunya lebih banyak dihabiskan untuk ibadah dan menziarahi majlis majlis pertemuan kemudian pergi ke mesir dan menetap diiskandariah dalam waktu yang cukup lama sehabis dimesir, beliau kembali kekampung halamanya dan menyendiri dikamar pribadinya dan menyusun berbagai kitab yang bermanfaat dalam berbagai bidang.
Setelah itu beliau kembali lagi ke Naisabur dan mengajar diperguruan Nizamiah. Namun tidak berapa lama, kembali pulang kerumahnya diThus dan membuat satu bilik kecil untuk menjalani hidup sufi. disamping kesibukan satu ini beliau juga masih sempat menyisakan waktunya untuk mengajar. sementara sebagian besar waktunya dibagi untuk melakukan kegiatan mulya,sampai beliau wafat 14 Jumadil Ahir tahun 505.